Lihat saja kecenderungan kita, baik  sebelum maupun sesudah Pemilu (Pilpres dan Pileg) serentak, Rabu, 17  April 2019 lalu. Situasi sebelum Pemilu begitu hiruk-pikuk. Dudi (dunia  digital) atau Dumes (dunia media sosial), begitu panas membara. Saling  hujat, saling hina, saling caci, saling maki, saling tuding, saling  menjatuhkan, saling menyalahkan, terus-terusan mewarnai dunia maya itu.  Fragmentasi terjadi antara dua kubu pasang calon; 01 dan 02. Di dunia  nyata pun kiranya tak jauh berbeda.
Hingga beberapa hari usai hajatan  demokrasi terbesar di dunia itu, faktanya suasana kebatinan mereka belum  benar-benar move on dan tidak serta-merta mendingin. Masih saja muncul  saling curiga satu dengan lainnya. Juga masih saling praduga antar  sesama. Hujatan, cacian, makian, dll, rupanya tidak hilang seiring  usainya pencoblosan, terutama di dunia media sosial. Lebih buruk lagi,  jika suasana ini dikipasi atau dikompori oleh (mereka yang dinilai  sebagai) tokoh agama atau tokoh masyarakat.
Ujung-ujungnya, untuk membela  kepentingan politik, kita tak sungkan dan tak canggung menyeret-nyeret  terma agama. Pendukung si Anu “kafir”, “fasik”, tak pakai akal, atau cap  buruk lainnya. Bahkan beberapa diantaranya hingga tega menerakakan  saudara muslimnya sendiri, hanya karena pilihan yang tak sama. Surga,  lalu, dikapling-kapling oleh pendukung calon tertentu dan “haram” untuk  pendukung calon yang lain. Alasan keagamaan untuk membenarkan pilihan  politik pun dianggap absah.
Ayat-ayat dan Hadis-hadis juga ramai  bertebaran. Dipolitisasi untuk menguatkan kepentingan politik tertentu.  Tak peduli, apakah penerapannya sesuai konteks atau justru  menyalahinya. Asalkan sesuai selera, doktrin agama itu dipakainya tanpa  perasaan berdosa. Padahal semestinya, kita hati-hati menerapkan ayat  atau Hadis. Rasulullah Saw bersabda: “Siapa menafsirkan al-Quran dengan  rayunya, maka bersiap-siaplah menempati tempat di neraka.” (HR.  al-Tirmidzi). Ray identik dengan kepentingan hawa nafsu atau selera yang  pragmatis.
Karenanya, semestinya kita (umat  Islam) ingat betul, bahwa politik itu hanya sebagian kecil dari  keseluruhan tema besar agama. Dan, ia semata wasilah (perantara)  mencapai kemaslahatan bersama. Dalam sejarahnya, berdasarkan Hadis-hadis  yang valid, diantaranya riwayat Ahmad bin Hanbal, Rasulullah Saw diutus  li utammima shalih al-akhlaq (untuk kebaikan moralitas), bukan untuk  merebut kekuasaan. Hakikat bitsah beliau bukan untuk menegakkan politik.
Keluhuran akhlak tentu saja jauh di  atas kepentingan politik. Akhlak haruslah menjadi pengontrol politik.  Para politisi, jika ingin mulia dunia akhirat, berjalanlah di atas rel  akhlak. Jangan sampai, untuk meraih simpati atau dukungan supaya meraih  kemenangan, akhlak lalu dilabrak dan diabaikan begitu saja. Nilai agama  lalu dicampakkan seakan tiada guna dan makna. Ketika menjadi penguasa,  juga jadilah penguasa yang senantiasa berjalan di atas rel akhlak,  sehingga kebijakannya berorientasi untuk kemaslahatan rakyat.
Pun kita para pendukung/simpatisan, jika ingin luhur dunia akhirat,  dukunglah jagoan kita dengan landasan akhlak mulia. Akhlak akan  melahirkan peradaban yang madani (cosmopolitan) dan penuh penghargaan  pada keragaman. Sikapi perbedaan dengan keluhuran. Di situlah, agama  memainkan perannya. Berpolitiknya dengan landasan agama, bukan beragama  dengan landas politik.
Dalam beberapa penelitian, termasuk  yang dilakukan oleh Prof. Harun Nasution (Mantan Rektor IAIN Syahid  Jakarta), disebutkan bahwa sengketa teologi berawal dari sengketa  politik. Perpecahan umat Islam sejak zaman Abu Bakar al-Shiddiq dan  memuncak pada masa Khalifah Keempat, Ali bin Abi Thalib, itu dilatari  persoalan kekuasaan atau politik. Kala itu, sikap Ali yang menyetujui  tahkim atau arbitrase dengan Muawiyah, direspon beragam oleh kaum  muslim.
Sebagian keluar dari barisan Ali.  Mereka lalu disebut Khawarij, yang memiliki karakter garang dan keras.  Sebagian abstain alias tidak berpihak pada siapapun. Mereka inilah  Murjiah, yang menyerahkan segala urusan pada Allah Swt. Mereka kelompok  yang cenderung adem-ayem. Juga ada sebagian yang setia pada Ali dan  sebagiannya cenderung fanatik berlebihan. Mereka inilah kelompok Syiah.
Dari persoalan politik kekuasaan  itu, yang terjadi sejak zaman Abu Bakar, diantara efek buruknya adalah  terbunuhnya Umar bin al-Khaththab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,  termasuk juga Umar bin Abdul Aziz. Mereka pemimpin terbaik yang dimiliki  umat Islam. Ketakwaan dan keadilannya tidak diragukan. Namun berhadapan  dengan kepentingan politik, nyatanya mereka tak berdaya. Berbagai  persoalan politik setelahnya lalu berkembang liar.
Inilah ruginya jika akhlak tidak  menjadi darah yang mengiringi hiruk-pikuk politik kekuasaan. Seyogyanya,  kita mampu menjadikan sejarah suram ini sebagai pengalaman mahal,  sehingga kita mampu menjalankan kehidupan sosial kemasyarakatan penuh  keluhuran. Pelajaran telah dihamparkan. Hanya bijak bestari yang mampu  mengambil mutiara-mutiara itu.
Pertanyaannya kini: pelajaran  apa yang semestinya kita petik dari fakta sejarah kelam umat Islam dan  hajatan demokrasi 2019 yang baru saja usai diselenggarakan?
Pertama, Negara Kesatuan  Republik Indonesia (NKRI) adalah negara besar, yang diperjuangkan oleh  semua kalangan. Ia berdiri di atas keragaman suku, agama, ras dan  golongan. Tak heran, semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi mantra sakti  di Negeri Zamrud Katulistiwa ini. Ini juga menunjukkan, keragaman di  negeri ini adalah fitrah yang tak mungkin dipungkiri. Menjaga keragaman  dengan penuh keriangan, akan menjadikan negeri ini kian besar dan penuh  martabat.
Kehendak menafikan keragaman akan menghancurkan kebesaran dan martabatnya.
Sebab itu, demokrasi yang menyimbolkan kebersamaan dalam keragaman,  tidak semestinya menjadi alasan menafikan fitrah keragaman. Biarkan  perbedaan berkembang alamiah. Biarkan perbedaan berlangsung penuh  keindahan, bak aneka bunga di taman surga. Senyuman tetap dikedepankan,  kendati pilihan dan kepentingan berbeda. Situasi inilah yang beberapa  hari terakhir ini terasa senyap.
Kedua, kita harus  berhati-hati menyangkut urusan politik ini. Tak sedikit contoh, betapa  politik bisa menggerus dan memberangus kehidupan bersama yang terajut  indah nan damai. Juga tak kurang contoh nyata, betapa politik menjadi  momok menakutkan persatuan bangsa. Lebih-lebih politik identitas. Ia  cenderung menafikan perbedaan sebagai sunnatullah yang tak terabaikan.  Karena itu, kita patut waspada pada penumpung gelap demokrasi, yang  berkepentingan mengganggu ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah basyariyyah dan  ukhuwwah insaniyyah bangsa ini.
Persaudaraan yang telah terjalin di  kalangan bangsa ini, dibeli dengan harga yang sangat mahal, sehingga  dunia menghormati kita. Betapa naifnya, hanya karena perbedaan pilihan  politik, kita rela mengorbankan nilai-nilai persaudaraan. Bukankah Islam  mengajarkan pada umatnya untuk bersatu dan tidak saling berbecah-belah?  (Qs. Ali Imran: 103).
Ketiga, peran stake holder  bangsa ini untuk menjaga persaudaraan warganya menjadi lebih urgen.  Aparat pemerintah berkewajiban mengayomi mereka dengan kebijakannya.  Para tokoh agama berkewajiban menenteramkan jiwa mereka melalui tausiah  keagamaannya. Aparat keamanan bertugas menjaga keamanan mereka melalui  mandatnya. Dan semua, memiliki tugas menjaga persatuan dan persaudaraan  bangsa ini sesuai tupoksi dan porsinya masing-masing.
Selain itu, baik umara (penguasa)  maupun ulama (tokoh agama) haruslah senantiasa berkoordinasi dalam  segala hal yang terkait kemaslahatan umat. Umara bertugas mengelola  kesejahteraan fisik. Ulama bertugas mengelola ketenangan batin dan  menjaga moralitas. Berjalan sendiri-sendiri akan menjadikan bangsa ini  tidak punya arah dan hanya menunggu waktu kerusakannya. Dalam Hadis Nabi  (yang kualitasnya diperselisihkan), dikatakan bahwa dua golongan inilah  yang menentukan masa depan umat: jika keduanya baik, umat baik dan jika  keduanya rusak, umat rusak.
Untuk itu, mari kita move on bersama  menuju kehidupan sosial-politik yang lebih bermartabat. Tempatkan  urusan politik di bawah agama, karena agama nilainya lebih tinggi  dibanding politik. Dan 01 + 02 = 03, yang bermakna Sila Ketiga  “Persatuan Indonesia”.