Ilustrasi: Puluhan ribu buruh dari berbagai daerah memenuhi ruas Jalan Thamrin, Jakarta peringati Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5/2013). Buruh menuntut penghapusan sistem kerja kontrak dan mendesak segera dilaksanakan jaminan kesehatan. | KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
JAKARTA, KOMPAS.com — Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak rezim upah murah yang akan diberlakukan pemerintah. Pemerintah sendiri sedang mempertimbangkan kenaikan upah berdasarkan tingkat inflasi ditambah sekian persen.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, buruh Indonesia masih tetap memperjuangkan kenaikan upah minimum sebesar 50 persen. Memang tingkat kenaikan upah tersebut masih bisa dinegosiasikan, tapi intinya tidak memandang rendah upah karyawan.

"Kita jelas menolak rezim upah murah tersebut. Hal itu seiring dengan pernyataan Ketua Umum Apindo dan Menteri Perindustrian bahwa kenaikan upah minimum tahun depan hanya sebesar inflasi," kata Said di Jakarta, Sabtu (17/8/2013).

Said berpendapat serikat pekerja masih memperjuangkan kenaikan upah layak bagi buruh karena rencana kenaikan upah yang hanya 20 persen atau malah kurang itu tidak menguntungkan bagi buruh. Selama ini daya beli buruh mengalami penurunan akibat kenaikan harga BBM bersubsidi.

Di sisi lain, Said memperkirakan inflasi pada tahun depan bisa naik dobel digit. Sementara pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di atas 6 persen. Hal ini, kata Said, seakan bertolak belakang dan hanya menguntungkan pengusaha saja.

"Nilai kenaikan upah minimum tidak ditentukan oleh kemampuan industri padat karya tetapi ditentukan oleh biaya hidup layak," tambahnya.

Buruh Indonesia, kata Said, sedang mempersiapkan aksi besar-besaran secara bergelombang di seluruh indonesia pada tanggal 3, 5, dan 7 September mendatang. Puncaknya akan ada rencana mogok nasional pada Oktober atau November mendatang dengan isu menaikkan upah minimum 50 persen dan tuntutan menjalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dan tidak bertahap.
Enhanced by Zemanta