PRESTASI PEMBANGUNAN Presiden Suharto (Bidang Ekonomi)
PRESTASI PEMBANGUNAN
(Bidang Ekonomi)
Selama pemerintahannya, Presiden Soeharto telah berhasil meletakkan kerangka tinggal landas dengan capaian-capaian bidang ekonomi antara lain:
- Berhasil meningkatkan pertumbuhan Indonesia dari minus 2,25 pada tahun 1963 menjadi naik tajam sebesar 12% pada tahun 1969 atau setahun setelah dirinya ditunjuk sebagai pejabat Presiden. Selama periode tahun 1967-1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat ditingkatkan dan dipertahankan rata-rata 7,2% pertahun. Namun pada saat terjadi krisis 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot atau minus hingga kisaran 13,13%.
- Pertumbuhan Indonesia yang tinggi dan berkelanjutan (mulai tahun 1967 s/d 2007) menjadikan Indonesia digolongkan kedalam ekonomi industri baru (Newly Industrializing Economies, NIEs) Asia Tenggara. Antara tahun 1967-1990-an, pendapatan per kapita riil meningkat lebih dari tiga kali. Pertumbuhan tinggi dan konsisten, stabilitas yang terkelola dengan baik dan disertai political will pemerataan telah menghasilkan capaian-capaian: (1) perbaikan kesejahteraan rakyat secara signifikan, (2) panjang usia harapan (life expectancy) meningkat cukup tajam dari 56 tahun pada tahun 1966 menjadi 71 tahun pada tahun 1991, (3) proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan absolut menurun tajam dari 60% tahun 1966 menjadi 14% pada tahun 1990, (4) perbaikan secara cepat dan signifikan indikator sosial- ekonomi mulai dari pendidikan hingga kepemilikan peralatan serta penguasaan teknologi. Indonesia juga telah berubah dari negara pengimpor beras menjadi negara swasembada tahun 1984 dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan melalui program keluarga berencana (KB). Capaian prestasi ini menjadikan Indonesia (bersama Malaysia dan Thailand) digolongkan sebagai “Keajaiban Asia”.
- Seiring dengan peningkatan pertumbuhan, Indonesia juga mengalami peningkatan penanaman modal dan perbaikan sumber daya manusia yang keberadaanya menjadi pendorong utama pertumbuhan. Peningkatan ini menghasilkan akumulasi modal fisik maupun SDM bagi pembangunan bangsa secara umum. Sebagai ilustrasi adalah adanya peningkatan signifikan penanaman modal domestik (dalam negeri) yang rata-rata meningkat sebesar 50,43% pertahun selama kurun waktu 1976-1997. Kondisinya mengalami anomali pada era reformasi karena penanaman modal domestik mengalami penurunan atau minus rata-rata 17,20% pertahun selama lima tahun pertama reformasi (1998-2002). Selama periode tahun 1990 s/d 1997, penanaman modal dalam negeri mengalami peningkatan secara tajam untuk kemudian mengalami perlambatan oleh krisis politik tahun 1998. Setelah mengalami peningkatan pada tahun 1999, akibat krisis politik berkepanjangan, penanaman modal dalam negeri terus mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya. Begitu pula dengan gairah pemodal luar negeri dalam berinvestasi di Indonesia yang mengalami peningkatan rata-rata 42,10% pertahun selama kurun waktu 1977-1997. Hal ini menandakan iklim investasi di Indonesia cukup diminati oleh investor luar negeri. Sejalan dengan trend penanaman modal domestik, penanaman modal asing juga mengalami anomali pada era reformasi yang mengalami penurunan atau minus rata-rata 15,04% pertahun selama lima tahun pertama reformasi. Pertumbuhan tinggi yang dapat dipertahankan secara stabil juga meningkatkan tabungan domestik sehingga dapat mendorong tingginya tingkat investasi. Tabungan domestik selama kurun waktu tahun 1974-1996 meningkat rata-rata 69,08% pertahun.
- Sektor pertanian juga tumbuh cepat yang didukung dengan peningkatan produktivitas padi. Pada awal pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia masih menjadi pengimpor beras terbesar di dunia. Pada tahun 1969 produksi beras Indonesia hanya 12 juta ton, namun meningkat pesat menjadi 28 juta ton pada tahun 1980-1989 dan menjadikannya sebagai negara swasembada beras. Prestasi ini mengundang kekaguman internasional sehingga pada tanggal 14 November 1985, Presiden Soeharto diundang untuk mempaparkan kunci-kunci keberhasilan pembangunan pangan di Indonesia, dalam forum sidang organisasi pangan dan Pertanian PBB (FAO). Produksi beras mengalami peningkatan sebesar 7.5 juta ton dalam periode tahun 1970-1979 dan 15 juta ton selama periode tahun 1980-1989. Pada akhir 1990-1999 produksi beras hanya meningkat 5,6 juta ton sebagai dampak krisis politik 1998.
- Berhasil menyediakan kebutuhan papan. Selama periode 1978-1983 melalui Perum Perumnas pemerintah telah membangun 209.872 unit perumahan dan selama pemerintahan Presiden Soeharto secara keseluruhan telah terbangun 441.923 unit rumah. Selama periode 1978-1983 Perum Perumnas telah menjadi perintis munculnya kawasan pemukiman bagi penduduk kalangan menengan ke bawah. Melalui kebijakan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah), masyarakat juga dipermudah dalam penyediaan rumah tempat tinggal.
- Pemerintahan Presiden Soeharto berhasil melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk. Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%. Keberhasilan ini dicapai melalui program Keluarga Berencana Nasional yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Program pengendalian kependudukan di Indonesia diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial. Atas keberhasilan Indonesia ini, Direktur UNICEF James P. Grant memuji Indonesia karena dinilai berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. Grant bahkan mengemukakan apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian bayinya masih tinggi.
- Melalui kebijakan anggaran berimbang, Pemerintahan Presiden Soeharto juga dinilai berhasil menekan inflasi dibawah 10%, rata-rata defisit neraca berjalan 2,5% dari PDB dan mempertahankan cadangan devisa mendekati jumlah kebutuhan impor kurang lebih 5 bulan. Selain kebijakan anggaran berimbang, pemerintahan Presiden Soeharto juga mempertahankan kebijakan moneter secara hati-hati, mengupayakan tingkat kurs yang kompetitif dan mempertahankan sistem devisa bebas untuk menarik investasi dengan mengantisipasi perubahan situasi pasar dunia. Kebijakan tersebut dilaksanakan untuk mencapai sasaran stabilitas ekonomi makro, yaitu terkendalinya inflasi dan defisit neraca berjalan.
- Selain berhasil mengendalikan inflasi, pemerintahan Presiden Soeharto berhasil dalam melakukan pengelolaan utang luar negeri. Sebagaimana dipaparkan Widjoyo Nitisastro dalam bukunya berjudul “Pengalaman Pembangunan Indonesia” yang terbit tahun 2010, mengungkapkan bahwa pada tahun 1966 Indonesia sebenarnya sedang menunggak utang. Pada saat itu terdapat dua jenis pinjaman yaitu utang lama (yang diadakan sebelum 30 Juni 1966) dan utang baru (yang diadakan setelah 30 Juni 1966). Terdapat beberapa macam pinjaman lama yaitu utang kompensasi nasionalisasi perusahaan Hindia Belanda kepada pemerintah Belanda dan hutang-hutang lain (kira-kira 2,1 miliar dollar AS) kepada sekitar 30 negara besar dan kecil baik dari negara-negara Eropa Timur (terutama Uni Soviet), Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang.
Untuk menjaga etika hubungan
internasional maka diadakan pembicaraan dengan negara-negara tersebut
dan akhirnya dicapai kesepakatan antara Indonesia dengan negara-negara
Paris Club pada bulan April 1970 untuk penyelesaian tunggal dan
menyeluruh utang-utang Indonesia dengan kesepakatan:
- Pembayaran utang pokok dilakukan dengan mencicil selama 30 tahun dari 1970 sampai dengan tahun 1999.
- Pembayaran atas bunga yang sudah disepakatidilakukan selama 15 tahun dari 1985 sampai 1999.
- Utang yang dijadwalkan kembali tersebut bebas bunga.
- Indonesia mempunyai pilihan untuk menunda sebagian dari utang yang jatuh tempo pada delapan tahun pertama ke delapan tahun terakhir, yakni 1992-1999, dengan bunga sebesar empat persen pertahun.
Pemerintahan Presiden Soeharto melakukan
pengelolaan utang secara hati-hati dalam jumlah seperlunya dan
mengalokasikannya untuk biaya kegiatan pembangunan yang produktif.
Kehati-hatian ini tampak dari jumlah hutang Indonesia selama era Orde
Baru dengan era reformasi. Selama 32 tahun memerintah, pemerintahan
Presiden Soeharto mencatatkan utang sekitar Rp.46,88 triliun per tahun.
Jumlah ini lebih kecil jika dibandingkan dengan 10 tahun pemerintahan
reformasi yang mencatatkan utang sebesar Rp. 111,4 triliun per tahun.
Pada saat mengundurkan diri pada bulan Mei 1998, Presiden Soeharto
mencatatkan utangsebesar Rp. 553 triliun. Sedangkan 10 tahun
pemerintahan reformasi telah mencatatkan utang sebesar Rp. 1667 triliun.
Selain membangun sektor pertanian yang
tangguh, komitmen Presiden Soeharto mewujudkan kedaulatan dan
kemandirian ekonomi bangsa tercermin dalam pengembangan
industri-industri strategis berbasis high tech. Melalui Kepres No.59
Tahun 1983, ia menetapkan 10 BUMN strategis dan dalam perkembangannya
bertambah dengan sejumlah industri strategis lainnya. Beberapa BUMN
strategis pada era reformasi telah dijual (privatisasi) dengan alasan
efisensi. BUMN-BUMN strategis berbasis high tech yang dibangun atau
dikembangkan pada era pemerintahan Presiden Soeharto antara lain:
Industri Strategis Era Presiden Soeharto
Prestasi pembangunan
yang telah ditorehkan Presiden Soeharto telah secara nyata mengarahkan
Indonesia untuk melaju dalam track terwujudnya tinggal landas dalam dua
tahap pembangunan jangka panjang. Agenda tinggal landas mengalami
keterputusan akibat krisis politik yang datangnya menyusul hampir
bersamaan dengan krisis ekonomi dan moneter. Terdapat sinyalemen kuat
beberapa kalangan yang bermain dalam memanfaatkan krisis ekonomi dan
moneter —termasuk kelompok kepentingan internasional— yang targetnya
untuk mengendalikan potensi-potensi strategis Indonesia —dengan
menumbangkan Presiden Soeharto— dan hal itu tidak direncanakan secara
tiba-tiba. Potensi besar Indonesia harus dikendalikan dan penjatuhan
Presiden Soeharto merupakan rute paling pendek menghentikan agenda
tinggal landas serta penguasaan aset-aset strategis Indonesia.
Agenda kepentingan internasional itu
tercermin dari Bill Clinton yang merasa perlu mengungkapkan pelepasan
dukunganya terhadap Presiden Soeharto pada saat kampanye presiden
Amerika Serikat tahun 1992. Sebagaimana dikutip Lee Kuan Yew melalui
bukunya berjudul “From Third World to First “ (2000) dengan sub judul
“Indonesia: From Foe to Friend”, dalam kampanye 1992 itu Bill Clinton
mengungkapkan sebagai berikut:.
“Mereka tetap tidak berubah untuk
memenuhi kebutuhan ditegakkannya demokrasi, pemberantasan korupsi dan
pelaksanaan HAM. Perang dingin telah usai. Tidak ada lagi alasan untuk
“memanjakan” (molly-coddle) Soeharto” 2
Fadli Zon dalam bukunya berjudul
“Politik Huru Hara Mei 1998” juga mengungkapkan pernyataan Michel
Camdesus, Direktur IMF yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan IMF di
Indonesia tidak lain sebagai katalisator jatuhnya Pemerintahan Soeharto.
Sebagaimana dikutif New York Times, Camdesus menyatakan “We created the
conditions that obliged President Soeharto leave his job”3. Dua
penyataan dari dua tokoh berpengaruh internasional itu mengindikasikan
bahwa telah sejak lama Presiden Soeharto —dengan agenda tinggal
landas-nya— menjadi target untuk ditumbangkan. Setelah itu aset-aset
strategis Indonesia —dengan alasan efisiensi— mulai berpindah
kepemilikan kepada pihak asing yang bermarkas di Singapura.
Menjelang krisis ekonomi-moneter-politik
di Indonesia (tahun 1997-1998), Presiden Soeharto juga bersitegang
dengan Jepang dalam upayanya memutus ketergantungan teknologi dan produk
otomotif dari Jepang. Melalui Inpres No. 2/1996 pemerintah Indonesia
mengeluarkan kebijakan untuk membangun mobil nasional dengan beberapa
fasilitas, terutama bebas pajak impor barang mewah. Pada tahun pertama
Mobnas ditargetkan memiliki local content, sebesar 20%, dan pada tahun
kedua 40% serta 60% pada tahun ketiga. Komponen-komponen untuk mobil
nasional dapat diimpor bebas bea masuk dan bebas kewajiban pajak-pajak
lain selama tiga tahun pertama. Sementara produsen mobil lain tetap
dikenakan kewajiban untuk membayar bea masuk 100% 4.
Permasalahannya terletak pada joint
partner yang kali ini tidak melibatkan Jepang —yang dinilai Presiden
Soeharto tidak ber-iktikad baik dalam alih teknologi selama 20 tahun
lebih kerjasamanya dengan Indonesia— yang keberadaannya sebagai salah
satu investor terbesar bagi pembangunan Indonesia dan merupakan pemasok
produk otomotif ke Indonesia. Joint partner proyek Mobnas ini adalah
KIA, perusahaan otomotif terbesar ketiga di Korea Selatan yang dinilai
ber-iktikad baik melakukan transfer teknologi. Melalui Keppres No.
42/1996 pemerintah mengijinkan kerjasama Mobnas dibuat diluar negeri
sejauh memenuhi syarat dalam kriteria muatan lokal dan dibuat
pekerja-pekerja Indonesia. Melalui keputusan Menperindag, PT Timor Putra
Nasional (PT TPN) —yang dimiliki Tomy Soeharto— sebagai perintis
mobnas, karena dinilai sebagai satu-satunya perusahaan yang memiliki
persyaratan untuk menjalankan proyek tersebut. Kebijakan ini tentunya
memukul produsen otomotif Jepang yang telah menguasai pasar otomotif
Indonesia selama lebih dari dua puluh tahun.
Jepang yang didukung Amerika Serikat
membawa permasalahan ini ke meja WTO namun dibalas oleh Presiden
Soeharto dengan realitas ketergantungan Jepang terhadap kebutuhan minyak
mentah dari Indonesia untuk keperluan industrinya serta ancaman
Asosiasi Importir Indonesia (GINSI) untuk memboikot produk-produk Jepang
jika WTO menjatuhkan sanksi secara tidak adil kepada Indonesia. Begitu
seriusnya kebijakan mobnas bagi Jepang membuat PM Jepang Ryutaro
Hashimoto menanyakan langsung kepada Pemerintah Indonesia dalam
kunjunganya ke Jakarta pada bulan Januari 1997. Presiden Soeharto
menjelaskan bahwa alasan memilih perusahaan Korea Selatan sebagai joint
partner PT TPN bukan dilatarbelakangi alasan diskriminasi, akan tetapi
murni pertimbangan ekonomi. Kerelaan KIA Corporations mentransfer
teknologinya secara ekonomi menguntungkan Indonesia.
Bargaining Indonesia melalui ancaman
kelancaran pasokan minyak dan boikot impor produknya telah menyurutkan
Jepang membawa kasus mobnas ke meja WTO. Akan tetapi setelah itu
menyeruak black campaign yang beredar di Indonesia bahwa proyek mobnas
merupakan proyek diskriminatif dan sarat KKN, karena dikelola putra
Presiden. Melihat latar belakang mencuatnya kasus ini, tidak mustahil
kalangan produsen otomotif Jepang dan para principle-nya di Indonesia
memiliki kontribusi besar terhadap menyeruaknya tudingan itu yang
kemudian digemakan seiring tuntutan reformasi politik tahun 1998. Proyek
mobnas pada akhirnya mengalami kegagalan seiring keputusan pengunduran
diri Presiden Soeharto sehingga ketergantungan terhadap teknologi dan
produk otomotif dari luar negeri (khususnya Jepang) semakin tidak bisa
dihindari.
Presiden Soeharto juga menampakkan
kegigihannya manakala memperoleh tekanan agar struktur APBN tahun 1998
disesuaikan dengan keinginan IMF. Begitu pula dengan tekanan
internasional — termasuk melalui Lee Kuan Yew, Menteri Senior Negara
Singapura— terhadap pencalonan BJ Habibie sebagai calon wakil presiden
pilihannya. Habibie dikenal sebagai ujung tombak Presiden Soeharto dalam
pengembangan industri strategis dan keberadaanya sebagai wapres akan
mendorong percepatan kemandirian industri-industri strategis Indonesia
berbasis high tech. Presiden Soeharto tentu menolak tekanan dan campur
tangan IMF yang terlalu dalam karena menyadari implikasinya terhadap
kemandirian dan kedaulatan bangsa. Mengikuti tekanan itu sama artinya
dengan menyerahkan Indonesia —yang nyaris berhasil mewujudkan tinggal
landas— kedalam kendali kebijakan kelompok-kelompok kepentingan
internasional melalui tangan IMF.
Pernyataan Bill Clinton dalam
kampanyenya tahun 1992 dan tekanan-tekanan internasional pada saat
Indonesia menghadapi krisis ekonomi tahun 1997/1998 merupakan bukti kuat
adanya peranan kelompok-kelompok kepentingan internasional dalam krisis
politik tahun 1998. Agenda mereka bukan hanya menjatuhkan Presiden
Soeharto dari jabatannya, akan tetapi untuk memutus keberhasilan
Indonesia dari tahapan-tahapan tinggal landas —termasuk penguasaan
aset-aset dan potensi strategis— sehingga keberadaannya tetap dapat
dikelola sebagai pasar bagi produk negara-negara maju. Membiarkan
Indonesia tumbuh menjadi negara yang mandiri berarti terlepasnya kendali
Asia Tenggara dimana Indonesia menjadi regional leader-nya.
Keterputusan agenda tinggal landas
akibat krisis ekonomi dan moneter barangkali tidak akan terlalu parah
—dan dapat dilanjutkan kembali— manakala terdapat soliditas komponen
bangsa. Permasalahannya terdapat banyak pelaku dalam peristiwa reformasi
1998 yang didalamnya mengusung agenda pragmatisnya masing-masing
sehingga soliditas bangsa tidak bisa segera terwujud. Kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diwarnai beragam instabilitas
(keamanan, politik, pemerintahan dan ekonomi) sehingga keberlangsungan
agenda tinggal landas menjadi terbengkalai.
Target mengantarkan Indonesia menjadi
salah satu kekuatan dari 20 besar negara di dunia pada tahun 2005, hanya
bisa diwujudkan dengan predikat sebagai “the emerging market” atau
negara yang pasarnya sedang tumbuh dengan stabil dan dalam hal ini
merupakan bahasa halus dari “tempat pembuangan produk negara-negara
maju”. Sedangkan target tinggal landas (setara dengan negara maju pada
tahun 2019/2020) dengan struktur perekonomian yang didukung industri
pertanian dan industri strategis yang kuat justru semakin menjauh.
Bahkan sejumlah ahli ekonomi menyatakan telah terjadi de-industrialisasi
pada era reformasi. Segala jerih payah untuk mewujudkan kedaulatan dan
kemandirian ekonomi bangsa itu kini harus ditata kembali. Kegagalan ini
merupakan kegagalan bersama sebagai sebuah bangsa yang dalam proses
transisi tahun 1998 tidak bisa memetakan secara akurat siapa lawan dan
siapa pengkianat bangsa yang sesungguhnya.