Putusan Mahkamah Konstitusi
03
Apr
2014
16:39 WIB
Nomor Perkara
:
24/PUU-XII/2014
Pokok Perkara
:
Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pemohon
:
PT Indikator Politik Indonesia sebagai Pemohon I sampai dengan para Pemohon V Kuasa Pemohon: Andi Syafrani, S.H., MCCL., dkk
Amar Putusan
:
dikabulkan
Di Unduh
:
159
Kata Kunci
:
File Pendukung
:


PUTUSAN
Nomor
24
/
PUU
-X
II
/20
1
4
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1]
Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
men
jatuhkan putusan dalam perkara
P
engujian
Undang
-
Undang
Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
terhadap
Undang
-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun
1945
,
yang
diajukan oleh:
[1.2]
1. Nama
:
PT
Indikator Poli
tik Indonesia
A
lamat
:
Jalan
Cikini V, Nomor
15, Menteng, Jakarta Pusat, dalam
hal ini diwakili oleh
Burhanuddin,
warga negara
Indonesia, lahir di Rembang, 15 Desember 1977,
jabatan
Direktur Utama (Berdasarkan Akta Pendirian Persero,
No
mor
17 tanggal 22 Februari 2013 di hadapan Notaris
Herawati, S
.
H.)
sebagai
--
--------------------------------------------------------------
Pemohon I;
2.
Nama
:
PT
Saiful Mujani [Saiful Mujani Research &
Consulting (SMRC)]
Alamat
:
Jalan Wahid Hasyim, Nomor
194, Kelurahan Kampung
Bali, Kecamatan
Tanah Abang, Jakarta Pusat, dalam hal
ini diwakili oleh
Grace Natalie Louisa
,
warga negara
Indonesia, lahir di Jakarta, 04 Juli 1982,
jabatan
Direktur
(Berdasarkan Akta No
mor
02 tanggal 03 Agustus 2012 di
hadapa
n Notaris Lilly Fit
riyani, S
.
H.)
sebagai
----------------------------------------------------------------
Pemohon
II
;
3.
Nama
:
PT Pedoman Global Utama
Alamat
:
Wisma Kodel
Lantai
8, Jalan HR Rasuna Said Kav. B
-
4,
Jakarta 12920, dalam hal ini diwakili oleh
Mochamad
14
3.
Bahwa penerapan Pasal 247 ayat (2) yang mengatur tentang pelarangan
pengumuman survei pada masa tenang bertentangan dengan
UUD
1945,
dengan a
rgumen sebagai berikut:
a.
Bahwa
Pasal 247
ayat
(2) berbunyi: “
Pengumuman hasil survei atau jajak
pendapat tentang Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
dilakukan pada Masa Tenang
”.
Sementara pasal 247 ayat (1) berbunyi:
Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik
bagi Pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, serta
penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur
oleh KPU”.
Di mana dalam
Penjelasan
Pasal
24
7 ayat (2) disebutkan,
bahw
a
: “
yang dimaksud “pengumuman” termasuk pemberitaan dan
publikasi”
.
b.
Bahwa para
Pemohon jelaskan survei adalah usaha untuk merekam suatu
keadaan/kondisi dalam rentang waktu yang terukur berdasarkan
metodologi yang ilmiah dan sah. Sementara itu, survei opini
publik yang
berkaitan dengan demokrasi dan
Pemilu
merupakan potret dari kondisi
terkini dari berbagai hal, antara lain; perilaku pemilih, pengetahuan pemilih,
kesiapan
stakeholder
/penyelenggara
Pemilu
, kesiapan para pendukung
pemilihan umum (Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, keamanan,
pemantau pemilu dll), elektabilitas calon, program
-
progam unggulan calon
hingga kemampuan teknis pemilih saat menyalurkan suaranya. Media baik
televisi maupun cetak (baca pers) selaku pilar demokrasi yang
berkewajiban untuk menjaga kualitas demokrasi bekerja sama dengan
lembaga survei independen melakukan fungsi ilmiah untuk membantu
pemerintah dalam menyukseskan pemilihan umum di mana salah satu
caranya adalah dengan melakukan survei opini publik berkenaan dengan
demokrasi dan pemilu, kemudian mengumumkannya lewat pemberitaan
dan publikasi. Pada intinya survei opini publik dilakukan untuk kepentingan
warga negara mendapatkan informasi seluas
-
luasnya berkenaan dengan
berlangsungnya pemilihan umum;
c.
Bahwa hasil survei sebagaimana
hasil penelitian lain selayaknya dapat
diumumkan kapanpun kepada publik. Pelarangan pengumuman hasil
survei pada masa tenang kontraproduktif dengan cita
-
cita menjaga kualitas
demokrasi dan pemilihan umum. Sesungguhnya pada masa hari tenang (3
15
hari) itulah
ada banyak informasi penting yang dapat disampaikan ke
publik dan merupakan hak publik untuk memperolehnya. Contoh dalam
Pemilu
2009 adalah persiapan pengetahuan publik berkenaan dengan
pemilihan umum dengan cara dicontreng bukan dicoblos atau berkenaan
de
ngan pemilihan suara legislatif berdasarkan suara terbanyak,
dan
seterusnya
. Karenanya pelarangan pengumuman hasil survei pada masa
tenang menjadi tidak relevan dan melanggar hak warga negara (
right to
know
) di mana
setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya
sebagaimana
dijamin oleh
Pasal 28
F UUD 1945 . Selain itu, Pemilihan Umum 2014 kali
ini diikuti oleh 12
partai politik
dan tiga partai politik lokal dengan ratusan
calon anggota DPR, DPD
dan DPRD. Pada masa tenang inilah publik
sesungguhnya membutuhkan informasi sebanyak mungkin berkenaan
dengan beragam aspek pemilihan umum;
d.
Bahwa pelarangan pengumuman survei di masa tenang menghilangkan
semangat reformasi yakni kebebasan berekspresi dan
menyuarakan
pendapat. para
Pemohon berhak
untuk memublikasikan hal yang berkaitan
kepentingan publik sehubungan kesiapan pemilihan umum sebagai bagian
dari
freedom of information
yang merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Pelarangan terhadap hal tersebut bukan hanya kontraproduktif
dengan semangat reformasi melainkan juga bertentangan dengan
Pasal
28
F UUD 1945 yang menjamin “
setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi ke Publik dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia”
dan bertentangan dengan
Pasal 28
E ayat (3) UUD 1945 yang
menjamin “
setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat”
;
e.
Bahwa survei adalah sebuah metode pencarian informasi berdasarka
n
ilmu pengetahuan yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Survei memiliki kaidah dan standar keilmuan yang tinggi yang
ditujukan untuk menunjukkan realitas yang sebenarnya ke hadapan publik.
Karenanya merupakan hak setiap warga negara men
dapatkan informasi
berkenaan dengan hasil survei sebagaimana dijamin oleh Pasal 28
C UUD
1945 “
setiap orang berhak untuk mendapatkan manfaat dari ilmu
16
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan manu
sia”
. Selain itu, dalam konteks
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi bukankah kewajiban
pemerintah untuk memajukan dan mempromosikannya sebagaimana
dijamin Pasal
31 ayat (5) UUD 1945 yaitu “
Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai
-
nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia”
.
f.
Bahwa mengutip pertimbangan Mahkamah terhadap norma yang sama
pada Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009
yang
menyebutkan
:
-
“.
..segala bentuk pengekangan terhadap
kebebasan berekspresi,
lebih
-
lebih terhadap kegiatan yang berbasis metodologis ilmiah,
seperti
yang diatur di dalam Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008
adalah tidak sejalan dengan semangat reformasi dan jiwa UUD
1945”.
(
vide
Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009
, poin
3.15, halaman 59
-
60)
-
“Mahkamah berpendapat ketentuan restriktif yang diatur di dalam
Pasal 245 ayat (2) dan ayat (3) UU 10/2008 tidak sejalan dengan jiwa
Pasal 31 dan Pasal 28
F UUD 1945
”;
(vide
Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009,
poin 3.16, halaman 60);
-
“Oleh sebab itu, baik pengumuman hasil survei pada masa tenang
menjelang Pemilu maupun pengumuman hasil quick count begitu
selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional
bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28
F UUD 1945.”
(vide
Putusan
Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009,
poin 3.19, halaman
62)
g.
Sementara
tak ada satu buktipun yang dapat menunjukan bahwa
pengumuman hasil survei mengenai kesiapan dan pengetahuan pemilih
atas proses dan tata cara pemilu merugikan publik atau dapat
menyebabkan ketidaktertiban.
B
ahwa
sesuai dengan pendapat Mahkamah
pada Putusan No
mor
09/PUU
-
VII/2009, tanggal 30 Maret 2009,
bahwa
pengumuman hasil s
urvei
pada masa tenang dapat m
enimbulkan
kekisruhan dan memengaruhi masyarakat sama sekali tidak faktual dan
17
agak mundur karena sejauh dilakukan sesuai dengan prinsip metodologis
-
ilmiah dan tidak bertendensi memengaruhi pemilih pada masa tenang
maka pengumuman hasil survei tidak
dapat dilarang
;
h.
Bahwa
sesuai dengan pendapat Mahkamah pada Putusan
No
mor
09/PUU
-
VII/2009, tanggal 30 Maret 2009,
bahwa hak
-
hak dasar yang
diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dikesampingkan. Artinya,
pengumuman hasil survei tersebut tidak inkonstitusional sepanjang tidak
berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan
atau merugikan salah satu peserta Pemilu;
i.
Bahwa sesungguhnya pasal yang bernorma sama dengan Pasal 247 ayat
(2) UU
Nomor
8 Tahun 2012 yaitu:
1)
Pasal 245 ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sudah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 serta dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009
;
2)
Pasal 188 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden sudah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat ole
h
Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Putusan Nomor 98/PUU
-
VII/2009, 3
Juli 2009, di mana
secara
mutatis mutandis
menggunakan argumentasi
dan pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret
2009
;
Karenanya merupakan keanehan dan kejanggalan, norma yang sudah
dinyatakan bertentangan dengan
UUD
1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sebanyak 2 (dua) kali oleh Mahkamah Konsitusi
dimunculkan kembali oleh pembuat Undang
-
Undang, dalam hal ini Dewan
Perwakilan Rakyat. Dengan demikian sudah seharusnyalah dengan
argumentasi dan pertimbangan yang sama dengan Putusan Nomor
9/PUU
-
VII/2009, 30 Maret 2009
juncto
Putusan Nomor 98/PUU
-
VII/2009,
tanggal 3 Juli 2009, Mahkamah Konstitusi secara
mutatis mutandis
menyatakan Pasal
247 ayat
(2)
Undang
-
Undang Nomor
8 Tahun 2012
18
bertentangan dengan UUD 1945
serta tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat;
4.
Bahwa penerapan Pasal 247
ayat
(5) yang mengatur tentang kebolehan
mengumumkan perhitungan cepat pemilu dalam jangka waktu paling
cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara bertentangan dengan
UUD
1945, dengan argumentasi sebagai berikut
:
a.
Bahwa Pasal 247 ayat (5)
: “
Pengumuman prakiraan hasil penghitungan
cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah
selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat
”.
b.
Bahwa para
Pemohon selaku peneliti (ilmuwan) selain diikat oleh nilai
moral yang hanya untuk menyuarakan kebenaran juga diikat oleh kode etik
ilmuwan. Peneliti berkewajiban untuk mematuhi kaidah
-
kaidah ilmiah dan
bekerja berdasarkan kaidah tersebut. Para Pemohon sebagai
watch
-
dog
demokrasi dan pemilihan umum berkewajiban secara moral untuk menjaga
netralitas, imparsial dan ob
j
ektifitas. Sementara dalam konteks
quick
count
, bekerjanya sistem ini adalah berdasarkan penghitungan (
count
) dan
kec
epatan (
quick
) dan merupakan kewajiban
para
Pemohon untuk
menyampaikan hasil penghitungan cepat (
quick count
) secepat
-
cepatnya
dan tidak dibatasi oleh waktu. Bila kewajiban
para
Pemohon dalam
menjalankan tugas dibatasi oleh waktu sebagaimana disebutkan dal
am
Pasal 247
ayat
(5) Undang
-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 maka yang
terjadi adalah potensi hilangnya hak masyarakat untuk mendapatkan
informasi serta hilangnya prinsip penghitungan cepat “
quick count”
.
Penerapan
Pasal 247
ayat
(5) Undang
-
Undang Nomor 8 Tahun
2012
berpotensi merugikan hak konstitusional
para
Pemohon yang dijamin oleh
Pasal 28E ayat (3)
dan
Pasal 28
F
UUD
1945;
c.
Bahwa perlu juga diketahui bahwa sejarah lahirnya
quick count
atau juga
dikenal dengan istilah
Parallel Vote Tabulation
(PVT) adalah dima
ksudkan
sebagai
data pembanding
bagi hitungan resmi yang dilakukan oleh
Penyelenggara Pemilu. Data
quick count
berfungsi selain menyampaikan
informasi lebih awal soal perhitungan suara, juga menjadi panduan awal
perhitungan untuk mengawal perolehan suara hingga selesai dalam
tahapan resmi yang dilakukan penyelenggara secara berjenjang, mulai
dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga ke level tertinggi yang
19
ditentukan. Di Asia,
quick count
pertama kali diselenggarakan oleh
lembaga independen NAMFREL untuk me
ngawal hasil pemilihan umum di
Filipina pada Pemilu 1986. Kemudian, di negara
-
negara yang baru
berkembang demokrasinya, diselenggarakanlah metode ini dengan
maksud untuk mengawal hasil
Pemilu
dan memastikan
Pemilu
berlangsung secara
Jurdil
dan Luber
, terma
suk di Indonesia. Publik
memahami bahwa hasil hitungan cepat bukanlah hasil resmi, namun hasil
ini menjadi pegangan, selama dilakukan secara benar, untuk mengawal
hasil yang kemudian akan diumumkan secara resmi oleh Penyelenggara
Pemilu karena kecepatan (
q
uick
) metode ini sebagai informasi awal. Tidak
pernah ada bukti hasil hitungan cepat yang akurat dan kredibel menjadi
keliru dan dasar konflik mengenai hasil Pemilu di mana pun. Bahkan hasil
hitungan cepat telah terbukti berkontribusi sebagai sarana “memua
skan”
publik terhadap hasil secara lebih cepat dan mencegah timbulnya konflik
berkepanjangan mengenai hasil
Pemilu
;
d.
Bahwa norma pembatasan waktu publikasi hitungan cepat “
paling cepat 2
(dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bag
ian
barat”
bertentangan dengan konstitusi
karena:
1)
Bahwa pemilihan legislatif ada yang bersifat lokal yaitu DPRD dan DPD
yang pemilihannya dilakukan pada masing
-
masing wilayah. Misal
pemilihan DPRD Provinsi Papua yang berada di wilayah waktu
Indonesia Bagian Timur (WIT) tidak dapat disangkutpautkan dengan
Pemilihan
DPRD Provinsi DKI Jakarta atau DPRD Provinsi Aceh yang
berada di wilayah waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Di mana kedua
bagian daerah tersebut (Waktu Indonesia Timur dan Waktu Indonesia
Barat)
berselisih 2 jam. Karenanya, jika penghitungan cepat (
quick
count
) untuk wilayah DPRD Provinsi Papua dipaksa menuruti ketentuan
Pasal 247 ayat
(5), maka hal tersebut menjadi tidak relevan dan
diskriminatif atau tidak adil. Bagaimana mungkin pengumuman cep
at
(
quick count
) terhadap penghitungan untuk wilayah DPRD Provinsi
Papua (Wilayah Indonesia Timur) yang sudah selesai harus menunggu
Wilayah Indonesia Barat, yang bisa jadi baru dimulai proses
penghitungan tiap TPS? Karenanya
Pasal
247 ayat
(5) menjadi tid
ak
memiliki makna dan tentu saja bertentangan dengan asas pembentukan
20
peraturan perundang
-
undangan
het beginsel van uitvoerbaarheid
yaitu
suatu undang
-
undang harus dapat dilaksanakan. Pembuat
Undang
-
Und
ang nampaknya ingin memberlakukan ketentuan tersebut s
ecara
universal namun ternyata praktiknya secara hanya secara parsial;
2)
Bahwa secara tegas, pembuat
Undang
-
Undang
telah membedakan dan
memperlakukan secara tidak adil hak pemilih orang
-
orang yang berada
di wilayah Indonesia Timur dan Tengah yang memiliki perbedaan waktu
dengan Indonesia bagian Barat untuk tahu lebih cepat hasil tentang
perolehan suara di wilayah mereka, dengan memaksa mereka secara
hukum untuk menunggu proses pelaksanaan pemungutan suara di
wilayah Barat. Padahal untuk siaran media yang bersifat nasional,
penontonnya tidak bisa dibatasi berdasarkan wilayah.
Dus
, mereka
yang telah selesai menggunakan hak pilihnya di wilayah Tengah dan
Timur punya hak yang sama dengan orang Indonesia Bagian Barat
untuk sama
-
sama memperoleh
kecepatan
mengenai h
asil,
bukan
penundaan
;
e.
Bahwa sesuai dengan pendapat Mahkamah pada Putusan
No
mor
09/PUU
-
VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, bahwa pembatasan waktu
pengumuman penghitungan cepat tidak relevan karena penghitungan
cepat tidak akan mempengaruhi kebebasan pemilih
untuk mejatuhkan
pilihan. Sebab Penghitungan cepat dilakukan saat penghitungan sudah
selesai. Dalam hal tidak bisa dilakukan jika pemungutan dan/atau
penghitungan suara belum selesai;
f.
Bahwa sesuai dengan pendapat Mahkamah pada Putusan
No
mor
09/PUU
-
VII/20
09, tanggal 30 Maret 2009, bahwa terhadap penghitungan cepat
(quick count),
menurut
M
ahkamah tidak ada data yang akurat untuk
menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil
quick count
itu telah
menggangu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan di dalam
masya
rakat. Dari sejumlah
quick count
selama ini tidak satu pun yang
menimbulkan keresahan atau mengganggu ketertiban masyarakat, sebab
sejak awal hasil
quick count
tersebut memang tidak dapat disikapi sebagai
hasil resmi;
g.
Survei dan penghitungan cepat yang penyebarannya dijamin oleh UUD
1945 adalah survei dan penghitungan cepat yang didasarkan pada
21
keilmuan dan tidak berdasarkan keinginan atau latar belakang untuk
mempengaruhi pemilih, oleh karenanya netralitas survei dan penghitungan
cepat sangatlah penting;
h.
D
engan demikian terang dan jelas alasan
para
Pemohon berkenaan
dengan uji materil
Pasal
247 ayat (5), karenanya sudah selayaknya
Mahkamah Konstitusi menyatakan
Pasal 247 ayat
(5) bertentangan
dengan UUD 1945
serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
j.
Bah
wa sesungguhnya pasal yang bernorma sama dengan Pasal 247 ayat
(5) Undang
-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 berupa norma pembatasan
pengumuman hasil perhitungan cepat (
quick count
), sudah
dinyatakan
bertentangan dengan
UUd
1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
me
ngikat
Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1)
Pasal 245 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sudah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009;
2)
Pasal 188 ayat (3) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden sudah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor 98/PUU
-
VII/2009,
dengan pertimbangan secara
mutatis mutandis
menggunakan
pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009
;
Karenanya merupakan keanehan
dan kejanggalan, norma yang sudah
dinyatakan bertentangan dengan
UUD
1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sebanyak 2 (dua) kali oleh Mahkamah Konsitusi
dimunculkan kembali oleh pembuat Undang
-
Undang, dalam hal ini Dewan
Perwakilan Rakyat. Dengan demikian sudah seharusnyalah, dengan
pertimbangan yang sama dengan Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009, tanggal
30 Maret 2009
juncto
Putusan Nomor 98/PUU
-
VII/2009, tanggal 3 Juli
2009, Mahkamah Konstitusi secara
mutatis mutandis
menyatakan Pasal
247 ayat
(5) Un
dang
-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan dengan
UUD 1945
serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
22
5.
Bahwa penerapan
Pasal 247 ayat
(6),
Pasal
291 dan Pasal 317 ayat (1)
dan ayat (2) yang mengkualifikasikan perbuatan pengumuman survei di
masa tenang,
pengumuman penghitungan cepat yang tidak
memberitahukan sebagai bukan hasil resmi, pengumuman hasil
penghitungan cepat kurang dari 2 jam setelah pemungutan suara waktu
Indonesia Barat sebagai tindak pidana adalah bertentangan dengan
UUD
1945, dengan argumentasi sebagai berikut:
a.
Pasal 247
ayat
(6): “
Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (4),
dan ayat (5) merupakan tindak pidana Pemilu
”.
Pasal 291:
Setiap orang
yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu
dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2),
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
Pasal 317
ayat
(1):
“Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang
melakukan penghitungan cepat yang tidak memberitahukan bahwa
prakiraan hasil penghitungan cepat bukan merupakan hasil resmi Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp18.0
00.000,00 (delapan belas juta rupiah).”
Pasal 317 ayat (2):
“Pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang
mengumumkan prakiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam
setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (5) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).”
b.
Bahwa pemberian sanksi pidana atas ketentuan pelaporan ke KPU
berkenaan dengan sumber dana, metode penelitian serta pengumuman
hasil
quick count
bukan merupakan hasil resmi KPU adalah tidak relevan
karena persoalan tersebut merupakan persoalan administrasi semata
sebagaimana bila seseorang diwajibkan untuk melaporkan diri dalam hal
be
rpindah tempat tinggal. Perbuatan pidana (
straafbaar feit
) ditetapkan
sebagai sebuah kejahatan adalah karena perbuatan tersebut sama sekali
bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan masyarakat yang
beradab dan secara sosiologis merupakan perbuatan tercela (
mala in se
).
23
Sekalipun tidak pernah ditetapkan dalam Undang
-
Undang (
wet
) sebagai
sebuah kejahatan seperti pada perbuatan pemerkosaan (
Pasal 285
KUHP), pencurian (
Pasal
362 KUHP) atau pembunuhan (
Pasal 338
KUHP), maka masyarakat tetap memandang bahwa perbuatan itu adalah
perbuatan keji dan nista (
rechtdelicten
). Sementara sanksi terhadap
pelanggaran dapat terjadi berdasarkan perspektif yuridis yaitu perbuatan
dapat diberikan sanksi karena ditetapkan sebagai suatu pelanggaran
melalui perumusan perund
ang
-
undangan (
mala prohibita
). Karena dari itu,
kriminalisasi dalam hukum pidana sesungguhnya adalah merupakan
perwujudan kemauan sosiologis masyarakat;
c.
Bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 247 ayat
(6),
Pasal
291, dan
Pasal
317 erat dengan persoalan politik, maka
penanganannya tentu akan sarat dengan kepentingan politik dan rentan
digunakan oleh pihak tertentu untuk menekan pihak lainnya. Karenanya,
penerapan pasal tersebut berpotensi mengekang kebebasan berekspresi
(
freedom of informati
on
)
para
Pemohon sekaligus memasung hak untuk
mendapatkan informasi (
right to know
) masyarakat luas terhadap informasi
pemilihan umum sebagaimana dijamin dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
Penerapan pasal tersebut menimbulkan kekhawatiran
para Pemohon
dalam
menjalankan tugasnya karenanya
Pasal 247 ayat
(6) dan
Pasal 291
berpotensi menghilangkan rasa aman dan kepastian hukum sebagaimana
dijamin oleh Pasa
l 28D ayat (1);
d.
Bahwa memasukkan pelarangan pengumuman hasil survei minimal 2 jam
setelah pemungutan suara di waktu Indonesia Bagian Barat selesai adalah
tidak relevan. Karena sebenarnya hal tersebut tidak pernah benar
-
benar
bisa dilaksanakan. Pembuat
Undang
-
Undang
tidak menyadari bahwa
Indonesia sangat luas sementara mekanisme pemilihan juga beragam,
ada perwakilan lokal dan nasional. Para Pemohon tentu akan kesulitan
menentukan batas waktu untuk mengumumkan
quick count
hasil daerah
Waktu Indonesia Timur, sementara di sisi lain harus memastikan bahwa
seluruh pemilihan di daerah Waktu Indonesia Barat sudah seles
ai. Hak
tersebut akan membatasi hak
para
Pemohon untuk menyebarkan
informasi (
freedom of information
) sementara di sisi lain secara
a contrario
24
menghalangi hak masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan (
right to
know
) yang sudah dijamin oleh
UUD
1945;
e.
Bahw
a dengan penundaan waktu setelah dua jam setelah pemungutan
suara selesai di wilayah Indonesia Bagian Barat, berarti selisih sekitar 4
jam setelah pemungutan suara di Indonesia bagian Timur, membuka
potensi adanya ruang kecurangan atau tindakan
-
tindakan pe
langgaran
pemilu lainnya di wilayah Indonesia bagian Timur. Selisih waktu 4 jam
bukanlah waktu yang pendek bagi potensi munculnya hal
-
hal yang tidak
diinginkan mengenai hasil pemilu di wilayah Indonesia Timur. Karenanya
penundaan waktu ini, meski hanya dua
jam untuk Indonesia Barat atau
empat jam untuk Indonesia Timur, berpotensi terhadap terbukanya ruang
bagi hal
-
hal yang dapat membahayakan dan menciderai demokrasi yang
sedang dan terus kita bangun bersama melalui
Pemilu
;
f.
Bahwa dengan demikian nampak bahwa
persoalan adminisratif yang
dibawa ke ranah hukum pidana adalah berlebihan. Sesuai dengan
pendapat Mahkamah pada Putusan
No
mor
09/PUU
-
VII/2009, tanggal 30
Maret 2009, bahwa penggunaan hukum pidana yang sesungguhnya dapat
dilakukan secara proporsional dan rasional dan hanya dijadikan sebagai
upaya terakhir (
ultimate remedy, ultimum remedium)
, sehingga hukum
pidana tidak kehilangan kewibawaan karena aplikasi yang kurang cermat
dan serampangan, dan menimbulkan kriminalisasi yang berlebihan dan
salah arah
;
g.
Bah
wa sesungguhnya pasal yang bernorma sama dengan Pasal 247 ayat
(6), Pasal 291, dan Pasal 317 Undang
-
Undang Nomor 8 Tahun 2012
berupa norma mengkualifikasikan perbuatan pengumuman survei di masa
tenang, pelaporan survei ke KPU serta pengumuman hasil penghit
ungan
cepat kurang dari 2 jam setelah pemungutan suara waktu Indonesia Barat
sebagai tindak pidana, sudah dinyatakan bertentangan dengan
UUD
1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi,
yaitu :
1)
Pasal 245 ayat (5), Pasal 282 dan
Pasal 307 UU Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum
25
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi
berdasarkan
Putusan Nomor
9/PUU
-
VII/2009, tanggal 30 Maret 2009;
2)
Pasal 188 ayat (5), Pasal 228 dan Pasal 255 UU Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sudah
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki
keku
atan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Putusan Nomor 98/PUU
-
VII/2009, tanggal 3 Juli 2009, dengan
pertimbangan secara
mutatis mutandis
menggunakan argumentasi dan
pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009,
tanggal 30 Maret 2009
;
Karenanya
merupakan keanehan dan kejanggalan, norma yang sudah
dinyatakan bertentangan dengan
UUD
1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sebanyak 2 (dua) kali oleh Mahkamah Konsitusi
dimunculkan kembali oleh pembuat Undang
-
Undang, dalam hal ini Dewan
Perwa
kilan Rakyat. Dengan demikian sudah seharusnyalah,
dengan
pertimbangan yang sama dengan Putusan Nomor 9/PUU
-
VII/2009, 30
Maret 2009
juncto
Putusan Nomor 98/PUU
-
VII/2009, tanggal 3 Juli 2009,
Mahkamah Konstitusi secara
mutatis mutandis
menyatakan
Pasal
247 ayat
(6)
juncto
Pasal 291 Undang
-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 bertentangan
dengan UUD 1945
serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
6.
Bahwa untuk memudahkan perbandingan norma
-
norma yang terkandung dan
sudah
dinyatakan bertentangan dengan
UUD
1945 dan tida
k memiliki
kekuatan hukum mengikat
dalam Undang
-
Undang No
mor
10 Tahun 2008
dan Undang
-
Undang
No
mor
42 Tahun 2008 dengan Undang
-
Undang
No
mor
08 Tahun 2012,
para
Pemohon sampaikan
dalam bentuk tabel berikut ini
:
No.
Pasal
-
Pasal
dalam
UU
10/2008
yan
g
din
yatakan
bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan
hukum mengikat oleh
MK
(
Nomor
09/PUU
-
VII/2009,
30 Maret 2009)
Pasal
-
Pasal
dalam
UU
42/2008
yan
g
dinyatakan
bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum
mengikat oleh
MK
(
No
mor
98/PUU
-
VII/2009,
3 Juli 2009)
Pasal
-
Pasal
dalam
UU 8/2012
Yang diujikan ke MK
Norma : Pelarangan Pengumuman Hasil Survei Pada Masa Tenang
1.
Pasal
245 ayat (2) yang
berbunyi
:
Pengumuman
hasil
surve
i
atau jajak
pendapat
tidak boleh di
Pasal
188 ayat (2)
yang
berbunyi
: “
Hasil survei
atau jajak pendapat
tidak
boleh diumumkan
Pasal
247 ayat (2)
:
Pengumuman hasil
survei atau jajak pendapat tentang Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang dilakukan pada Masa Tenang
”.
26
lakukan
pad
a masa
tenang
dan/atau disebarluaskan
pada masa tenang
Norma : Penundaan Pengumuman Hasil Quick Count
2.
Pasal
245 ayat (3)
yang
berbunyi : “
Perhitungan
hasil perhitungan cepat
hanya boleh dilakukan
pada
hari berikutnya
dari hari/tanggal
pemungutan suara
(
quick qount
dilakukan
H + 1
)
Pasal
188 ayat (3)
yang
berbunyi : “
Hasil
penghitungan cepat dapat
diumumkan dan/atau
disebarluaskan paling
cepat pada
hari
berikutnya dari
hari/tanggal pemungutan
suara”
(
quick qount
dilakukan
H
+ 1
)
Pasal
247 ayat (5) : “
Pengumuman
prakiraan hasil penghitungan cepat
Pemilu hanya boleh dilakukan
paling
cepat 2 (dua) jam setelah selesai
pemungutan suara di wilayah
Indonesia bagian barat
”.
(
quick qount
dilakukan setelah
TPS di
WIB tutup + 2 jam
)
Norma : Kriminalisasi Terhadap Pengumuman Survei Pada Masa Tentang
dan
Pengumuman
Quick
Count
3.
Pasal
245 ayat (5)
yang
berbunyi : “
Pelanggaran
terhadap ketentuan ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4)
merupakan
tindak pidana Pemilu
Catatan : dinyatakan
bertentangan dengan
UUD
1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum
mengikat oleh Mahkamah
sepanjang
frasa ayat (2)
dan ayat (3)
Pasal 188 ayat (5)
yang
berbunyi: “
Pelanggaran
terhadap ketentuan ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4)
merupakan tindak pidana
Pemilu Presiden dan Wakil
Pres
iden”
Catatan :
dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat oleh
Mahkamah sepanjang
frasa ayat (2) dan ayat (3)
Pasal
247 ayat (6)
yang berbunyi :
Pelanggaran terhadap ketentuan ayat
(2), ayat (4), dan ayat (5)
merupakan
tindak pidana Pemilu
”.
Kualifikasi
pidana terhadap pelanggaran
pengumuman surve
i
pada masa tenang;
quick qount
kurang dari di tutup WIB + 2
jam
Norma : Kriminalisasi Terhadap Pengumuman Survei Pada Masa Tenang
4.
Pasal
282 ayat (5)
yang
ber
bunyi : “
Setiap orang
yang mengumumkan hasil
survei atau hasil jajak
pendapat dalam masa
tenang, dipidana dengan
pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12 (dua
belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp.
3.000.000.00 (tiga juta
rupiah),
dan paling banyak Rp
12.000.000.00 (dua belas
juta rupiah)”;
Pasal
228
yang berbunyi :
Setiap orang yang
mengumumkan dan/atau
menyebarluaskan
hasil survei atau hasil jajak
pendapat dalam masa
tenang yang
dapat atau bertujuan
memengaruhi Pemilih,
dipidan
a dengan
pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 12
(dua belas) bulan dan
denda paling sedikit
Rp3.000.000,00 (tiga
juta rupiah) dan paling
Pasal 291 yang berbunyi : “
Setiap orang
yang mengumumkan hasil survei atau
jajak pendapat tentang Pemilu dalam
Masa Tenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
27
banyak Rp12.000.000,00
(dua belas juta
rupiah)”.
Nor
ma : Kriminalisasi Terhadap Pengumuman Quick Count
5.
Pasal
307
yang berbunyi :
Setiap orang atau
lembaga yang melakukan
perhitungan cepat yang
mengumumkan hasil
perhitungan cepat pada
hari/tanggal pemungutan
suara, dipidana penjara
paling singkat 6 (e
nam)
bulan dan paling lama 18
(delapan belas) bulan dan
denda paling sedikit
Rp 6.000.000.00 (enam
juta rupiah) dan paling
banyak Rp 18.000.000.00
(delapan belas juta
rupiah)”;
Pasal
255
yang berbunyi
:
Setiap orang atau
lembaga yang
mengumumkan hasil
pe
nghitungan cepat pada
hari/tanggal pemungutan
suara,
dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6
(enam) bulan
dan paling lama 18
(delapan belas) bulan dan
denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan
belas juta rupiah)”.
Pasal
317 ayat (2)
yang berbunyi:
Pelaksana kegiatan penghitungan cepat
yang mengumumkan prakiraan hasil
penghitungan cepat sebelum 2 (dua) jam
setelah selesainya pemungutan suara di
wilayah Indonesia bagian barat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247
ayat (5) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan denda paling banyak
Rp18.000.000,00 (delapan belas juta
rupiah)”.
7.
Bahwa jika dilihat secara sistematis, ketentuan tentang keterlibatan lembaga
surve
i, pelaksana hitungan cepat dan publikasinya adalah bagian dari
ketentuan mengenai partisipasi masyarakat (
Bab XIX
). Secara intensional
dan redaksional, penempatan norma dan ketentuan ini seharusnya dipahami
sebagai langkah pembuat
Undang
-
Undang
untuk mendorong dan mengajak
serta masyarakat dan
stakeholders
lainnya yang berkaitan dengan
Pemilu
untuk sama
-
sama berperan aktif dalam mewujudkan proses dan hasil
Pemilu
yang dicita
-
citakan. Sebagai sebuah upaya
endorsement,
maka adalah
janggal dan aneh jika kemudian kegiatan dan langkah partisipasi yang
seharusnya bersifat sukarela dan tanpa paksaan kemudian dibebani dengan
pelbagai larangan, bahkan dengan ancaman hukum pidana. Alih
-
alih norma
dan ketentuan ini dapat menggugah peran serta masyarakat sebagaimana
ya
ng dimaksudkan, dengan pelbagai larangan dan ancaman pidana,
ketentuan pasal
-
pasal
a quo
dapat secara
a contrario
menurunkan tingkat
partisipasi dan menakutkan masyarakat, khususnya media dan lembaga
survei dan penyelenggara hitungan cepat, untuk berpartipasi dalam
mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang baik. Oleh karenanya, secara
sistematis pembentukan perundang
-
undangan, ketentuan norma
-
norma
dalam pasal
-
pasal yang diujikan dalam permohonan ini, sejak awal sudah
mengalami cacat hukum dan terlebih bertentangan dengan norma
-
norma
konstitusional sebagai telah disebutkan di atas;
28
8.
Bahwa dalam Permohonan ini
para
Pemohon juga mengajukan
Permohonan Putusan Provisi (Putusan Sela) atas pasal
-
pasal
a quo
yang
para
Pemohon ujikan ke Mahkamah Konstitusi dengan da
sa
r
argumentasi sebagai berikut
:
a.
Putusan provisi lazim dalam praktek hukum acara perdata
di mana
bertujuan untuk mencegah
kerugian bagi penggugat
/
Pemohon
dan
memudahkan pelaksanaan putusan hakim jika penggugat
dimenangkan
.
Di mana
Putusan tersebut dijatuhka
n
terlebih dahulu
sedangkan perkara masih sedang berjalan (Prof. R. Subekti, S.H.,
Praktek Hukum
:71)
j
uncto
Pasal 180 HIR.
b.
Bahwa
dalam konteks sengketa kewenangan lembaga negara
,
Mahkamah
dapat menjatuhkan
permohonan provisi sebagaimana
dimuat dalam Pasal
63 UU MK yang berbunyi,
“Mahkamah dapat
mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau
termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan
yang dipersengketakan sampai ada
Putusan
Mahkamah Konstitusi”.
Selain itu, jika diperlukan
untuk melindungi hak
-
hak konstitusional warga
negara, Pasal 86 Undang
-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan Penjelasannya memberikan kewenangan
kepada Mahkamah untuk mengatur lebih lanjut hal
-
hal yang diperlukan
jika terjadi kekosongan/kekurangan dalam hukum acara. Dalam praktik
selama ini, Mahkamah telah menggunakan Pasal 86 tersebut untuk
memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum melalui beberapa
putusan sela yang berlaku mengikat dan telah dilaksanakan.
c.
Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi pernah
memberikan putusan sela terhadap Permohonan Uji Konstitusionalitas
Undang
-
Undang (bukan hanya dalam perkara sengketa kewenangan
lembaga atau perselisihan hasil pemilihan umum), yakni dalam perkara
Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagaimana Putusan
Nomor 133/PUU
-
VII/2009, tanggal 28 Oktober 2009 (Putusan Akhir
tanggal 19 November 2009) yang memutuskan “
menyatakan menunda
pelaksanaan berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3)
Undang
-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yakni pemberhentian Pimpinan Komisi
29
Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa karena melakukan
tindak pidana kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap
pokok permohonan a quo”.
d.
Bahwa
karena keberlakuan norma
-
norma yang dimohonkan untuk diuji
oleh Pemohon hanya 1 kali
(
ennmalig
)
selama Undang
-
Undang
a quo
berlaku yakni hanya tanggal 6
-
8 April 2014 (3 hari masa tenang
sebelum Pemilu untuk pengumuman survei di masa tenang) dan
tangg
al 9 April 2014 (hari H pemungutan suara yang telah ditetapkan
oleh KPU pada untuk norma pelaksanaan hitungan cepat), di
mana
waktunya kurang dari
2
(dua)
minggu sejak perbaikan pemohonan
ini
disampaikan
;
9.
Bahwa maka Kami bermohon kepada Mahkamah Konstitusi dapat
memberikan Putusan Sela berupa penundaan pemberlakuan Pasal 247 ayat
(2), ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2)
Undang
-
Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 117 dan Tambahan
Lembaran Negara 5316) sampai Mahkamah Konstitusi memberikan
Keputusan Akhir tentang Pokok Perkara Permohonan ini;
10.
Bahwa oleh karena norma
-
norma yang dimohonkan untuk
diuji oleh
para
Pemohon telah pernah diperiksa, diputuskan, dan bahkan dikabulkan oleh
Mahkamah sebelumnya, serta mengingat pula tentang waktu operasionalisasi
norma tersebut dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif Tahun 2014 yang sudah
sangat dekat waktunya,
yakni 3 hari masa tenang sebelum Pemilu yakni pada
tanggal 6
-
8 April 2014 untuk penguman survei di masa tenang, dan hari
pemungutuan suara yang telah ditetapkan oleh KPU pada tanggal 9 April
2014 untuk norma pelaksanaan hitungan cepat, maka dengan ini
par
a
Pemohon mohon kepada Mahkamah untuk dapat segera memeriksa dan
memutus
permohonan
ini secara cepat
dengan pertimbangan secara
mutatis mutandis
merujuk pada putusan
-
putusan yang telah disebutkan di
muka. Hal ini dimaksudkan agar permohonan ini memiliki arti dan fungsi
secara hukum untuk perlindungan hak
-
hak konstitusional
para
Pemohon dan
rakyat Indonesia secara keseluruhan dalam rangka berpartisipasi untuk
30
menghasilkan proses dan hasil Pemilu Legislatif Tahun 2014 yang baik dan
sesuai konstitusi dan perun
dang
-
undangan;
11.
Bahwa berdasarkan Putusan Nomor 102/PUU
-
VII/2009, tanggal 6 Juli 2009,
Mahkamah pernah memutuskan perkara secara cepat Pengujian
Konstitusionalitas Pasal 28 dan Pasal 111 Undang
-
Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden yakni
Mengesahkan Penggunaan Identitas (KTP dan Paspor) sebagai syarat untuk
memilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009. Di mana
Mahkamah Konstitusi bersidang, melakukan musyawarah hakim (pleno)
sekaligus membacakan putusan
perkara pada hari yang sama yakni Senin, 6
Juli 2009.
12.
Bahwa dengan demikian terang dan jelaslah hak
para
Pemohon sebagai
pencari keadilan di negara hukum ini berpotensi dirugikan hak
konstitusionalny
a yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, P
asal
28F, Pasal 28G, Pasal 31 ayat (1), ayat (3)
,
ayat (5) UUD 1945 akibat tidak
terpenuhinya jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, bebas
dari rasa takut, memperoleh dan menyebarluaskan informasi, kebebasan
berekspresi, memajukan ilmu pengeta
huan, pendidikan dan peradaban
karena penerapan dan pemberlakuan
Pasal 247
ayat (2), ayat (5) dan ayat
(6) serta Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) Undang
-
undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
13.
Bahwa oleh karenanya, beralasan secara hukum bagi Mahkamah Konstitusi
untuk mengabulkan permohonan
para
Pemohon, yakni menyatakan
Pasal
247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) serta Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1)
da
n ayat (2) Undang
-
Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
V.
PETITUM
Bahwa
berdasarkan uraian, alasan, dan fakta hukum di atas,
para
Pemohon
memohon kepada
Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi
untuk memutuskan
:
44
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1.
Mengabulkan permohonan para Pe
mohon
untuk seluruhnya
;
1.1.
Menyatakan
P
asal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta
Pasal 317 ayat (1) dan
ayat
(2) Undang
-
Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Re
publik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5316) bertentangan dengan Undang
-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.
Menyatakan
Pasal 247 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 291, serta
Pas
al 317 ayat (1) dan
ayat
(2) Undang
-
Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117 dan Tambahan Lembaran
Neg
ara Republik Indonesia Nomor 5316) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat
;
2.
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri
oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva
selaku Ketua merangkap
Anggota, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil
Sumadi,
Anwar Usman,
Patrialis Akbar, Wahid
ud
d
in Adams, dan Aswanto,
masing
-
masing sebagai Anggota pada hari
Kamis
,
tan
ggal
dua puluh tujuh,
bulan
Maret,
tahun dua ribu
empat
belas
, dan diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari
Kamis
, tanggal
tiga
, bulan
April
, tahun dua ribu empat belas,
selesai diucapkan
pukul
15.50
WIB
, oleh
sembilan
Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva
selaku Ketua merangkap
Anggota, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil
Sumadi,
Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahidu
d
din Adams, dan Aswanto,
masing
-
masing sebagai Anggota, dengan
didampingi
oleh
Achmad Edi Subiyanto
45
sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Pemerintah
atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Hamdan Zoelva
ANGGOTA
-
ANGGOTA,
ttd.
A
rief Hidayat
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Patrialis Akbar
ttd.
Wahidud
d
in Adams
ttd.
Aswanto
PANITERA PENGGANTI
,
ttd.
Achmad Edi Subiyanto