Sebuah papan penyitaan milik KPK saat tertempel di rumah milik Irjen Pol Djoko Susilo di Yogyakarta. Tempo/Pribadi Wicaksono |
"Ada 1842 terdakwa koruptor selama 2001 sampai 2012, dengan nilai total hukuman finansial Rp15,09 triliun," kata Rimawan kepada media seusai diskusi diseminasi hasil riset mengenai "Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasarkan Putusan MA 2001-2012" di Yogyakarta, Senin, 4 Maret 2013.
Namun, Rimawan juga menyodorkan data pembanding nilai denda finansial tadi dengan besaran jumlah nilai uang yang dikorupsi atau ia sebut biaya eksplisit korupsi, yakni Rp 168,19 triliun. Data itu jauh sekali dibandingkan dengan nilai denda finansial untuk koruptor yang hanya sebesar 8,9 persennya saja atau berarti negara kehilangan uang sebanyak Rp 153,1 triliun.
"Ini akibat UU Tipikor 2001 hanya menerapkan denda maksimal Rp 1 miliar, tapi dikenakan bagi kasus korupsi dengan nilai uang negara yang dicuri bisa ratusan milyar," kata dia.
Dia juga memperkirakan kerugian negara jauh lebih besar jika dimasukkan pula biaya antisipasi dan penanganan kasus korupsi, biaya implisit atau efek beban finansial negara akibat korupsi. Kerugian negara di luar uang yang dikorup itu, dia kategorikan sebagai biaya sosial korupsi yang rumusan penghitunganya belum ada di Indonesia. "Semestinya ada, karena di negara maju biaya sosial kejahatan itu ada rumusan hitungannya," ujar dia.
Kata Rimawan, besaran biaya sosial bisa membengkak jika ada praktek pencucian uang yang terjadi dan mengalir hingga ke luar negeri. Biaya pengejaran aset yang dicuci itu tentu sangat besar. Sementara efeknya bisa membuat dinamika ekonomi nasional terkena imbasnya sebab ada dana yang lari ke kawasan asing. "Kalau ada pencucian uang, kerugian makin besar," kata dia.
Biaya sosial korupsi juga bisa membengkak jauh lebih besar jika terjadi di sektor semacam kehutanan. Kata Rimawan, sektor ini membuat beban negara akibat kerusakan lingkungan berlangsung jangka panjang. "Kalau UU Tipikor memasukkan biaya sosial korupsi sebagai dasar pengenaan denda koruptor pasti miskin," kata dia.
Direktur Divisi Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Oce Madril, membenarkan kerugian negara akibat korupsi jauh sekali dibanding hasil pengenaan denda hukuman bagi koruptor. Namun, bagi Oce, revisi UU Tipikor mengenai peningkatan jumlah denda belum tentu efektif. "Bisa saja dibesarkan nilainya, tapi tetap saja tergantung keputusan hakim," ujar dia.
| Tempo.co
Post a Comment
Write You comment here! Please...